Selasa, 02 Oktober 2012

SIMSARAH -------JASA KEAGENAN-----

Dilihat dari sudut pandang islam dan perpajakan Indonesia.


Berikut ini merupakan bagian atau rangkuman dari ceramah Ustadz Ahmad Sarwat Lc. di Masjid Salahudin KP DJP pada hari Senin, 1 Oktober 2012 dengan penambahannya dari aspek perpajakan.

Berbagai transaksi sekarang ini baik transaksi barang dan jasa, banyak konsumen menggunakan pihak ketiga untuk membelinya. Misalkan untuk pembelian tiket (Pesawawat atau Kereta Api), kita tidak harus repot datang jauh-jauh dan berdesak-desakan mengantri di bandara atau stasiun. Tinggal membeli lewat internet atau gerai-gerai yang ditunjuk dan juga orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai agen tiket. Tidak hanya jual beli tiket saja, seperti jasa asuransi dan jasa bank lainnya kini juga ditawarkan melalui para agen. Keberadaan mereka dalam hal ini sangat membantu kita pihak penjual dan pembeli. Lalu bagaimana posisi profesi "Keagenan" dalam pandangan Islam?

Agen merupakan istilah yang biasa digunakan untuk menyebut sebuah profesi yang memberikan jasa perantara dalam menghubungkan kedua belah pihak untuk melakukan kegiatan jual beli. Dalam islam istilah ini disebut sebagai Simsarah (dibaca simsaro-red).

Secara bahasa simsarah berarti tengah, dalam hal ini diposisikan sebagai yang di tengah antara pihak penjual dan pembeli, sehingga keberadaanya dapat memudahkan terjadinya transaksi jual beli.Menurut Sayyid Sabiq dalam buku Fiqih Sunnahnya Simsarah adalah orang yang menjadi perantara antara pihak penjual dan pembeli guna melancarkan transaksi.

Secara hukum islam simsarah dalam akad jual beli adalah diperbolehkan. Mengikuti kaidah umum fiqih muamalah bahwa pada dasarnya semua transaksi adalah boleh asalkan memenuhi syarat dan kriteria yang ditentukan. Simsarah dalam hal ini berperan memberi kemanfaatan untuk penjual maupun pembeli, dan atas jasanya ini simsar (sebutan orang yang menjadi perantara) berhak mendapatkan upah/imbalan sesuai dengan akad yang telah ditentukan.

Transaksi melalui perantara ini juga pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dalam hadits Bukhari Muslim No.3443 dari Urwah al Bariqi bahwasannya Rasulullah SAW memberinya satu dinar untuk membeli satu ekor kambing. Dengan uang satu dinar tersebut dia membeli dua ekor kambing, kemudian menjual kembali satu ekor kambing tersebut seharga satu dinar. Selanjutnya dia datang kepada Nabi SAW dengan membawa satu kambing dan satu dinar. (Melihat hal ini) Rasulullah SAW mendoakan keberkahan pada perniagaan sahabat Urwah, sehingga seandainya ia menjual debu, niscaya ia mendapat laba.

Dari hadits tersebut diketahui bahwa Rasulullah menyuruh sahabat urwah sebagai perantara untuk membelikan kambing. Dan ternyata atas kepandaian sahabat Urwah dalam berdagang/menawar, dia memperoleh keuntungan sebesar 100%. Dalam hal ini Sahabat urwah memberikan kemudahan bagi Rasulullah dan dia sendiri mendapat keuntungan atas jasa yang dia berikan.

Menurut Yusuf Qardawi dalam buku Halal Haram berpendapat bahwa makelar/perantara dari luar daerah itu diperbolehkan karena dapat memperlancar masuknya barang dari luar ke daalm daerah dengan perantara si makelar tersebut. Dengan demikian mereka akan mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak (Penjual dan Pembeli). Pendapat ini dapat diterapkan dalam transaksi impor yag nota bene biasanya terdapat jasa perantara impor antara eksportir di luar dengan importir di dalam negeri.

Jadi, transaksi Jual beli melaui perantara seperti halnya ilustrasi di atas, islam membolehkan adanya perantara atau simsarah selama keberadaanya tidak merugikan kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Tidak merusak tatanan perekonomian masyarakat. Tidak melakukan penipuan atau memberikan informasi yang tidak benar kepada pihak pembeli.

Dalam praktiknya terkadang keberadaan perantara bisa menjadi merugikan ketika perantara ini tidak memiliki niat yang baik. Misalnya perantara jual beli tanah yang terkadang memberikan informasi tentang tanah yang akan dijual tidak sesuai dengan yang dikehendaki penjualnya seperti menambahkan harga tanpa sepengetahuan penjual. Atau penjual agen tiket "Ilegal", yang bekerja sama dengan oknum dalam sebuah perusahaan jasa transportasi (menjual tiket yang bukan porsinya-- dahulu hal ini sering terjadi di PT KAI, sekarang sejak direformasi peran agen ini, sering disebut calo, tidak lagi dengan mudah melakukan transaksi). Yang paling merugikan adalah calo-calo birokrasi. Mereka memalak/meminta mail --istilah supir angkot--- dari para pengusaha yang mau berurusan dengan perijinan mulai dari tingkat bawah sampai dengan tingkat atas semuanya mencekik para pengusaha. Hal ini tentunya menambah cost tersendiri bagi pengusaha untuk menentukan harga jualnya kepada konsumen.

Uraian di atas merupakan pandangan islam terhadap jasa perantara, sekarang saa akan menambahkan aspek perpajakan Indonesia terhadap adanya jasa perantara yang menjadi potensi perpajakan dari penghasilan yang diperoleh/diterima simsar.

Dari aspek Pajak Penghasilan (PPh), jasa perantara yang memeroleh penghasilan atau upah dari transaksi jual beli yang dilakukan , apabila memenuhi syarat subjektif (Subjek Dalam Negeri atau Luar Negeri), dan syarat Objektifnya maka atas penghasilannya wajib dikenakan PPh Pasal 23 ( untuk Subjek Pajak Dalam Negeri) atau PPh Pasal 26 (untuk Subjek Pajak Luar Negeri). Yang dimaksud Subjek Dalam Negeri adalah warga negara Indonesia yang tianggal di Indonesia sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) UU PPh Nomor 7 tahun 1983 stdd. 36 tahun 2009. Dan yang dimaksud Subjek Pajak Luar Negeri adalah Psal 2 ayat (4) UU PPh.


Besarnya atau tarif pajak yang dikenakan adalah 2% untuk PPh Pasal 23 dan 20% untuk PPh Pasal 26 dari total penghasilan yang diperoleh. Mekanismenya dilakukan melalui pemotongan oleh pihak yang memberikan  upah atau imbalan, dalam hal ini adalah pihak penjual. Penjual yang wajib melakukan pemotongan adalah penjual yang disyaratkan sebagai pemotong sebagaimana diatur dalam pasal 23 ayat (1)  dan Pasal 23 ayat (3) UU PPh. Jadi pajak jas perantara ini dipotongkan dari upah perantara yang diterima. Misal Simsar mendapat upah 1.000.000, maka upah bersih yang akan diterima adalah sebesar Rp. 980.000. Karena penjual telah memotong PPh sebesar 2% (dalam contoh ini untuk Subek Pajak Dalam Negeri). Namun, Apabila penjual adalah orang pribadi yang tidak berkewajiban melakukan pemotongan maka si perantara wajib membayarkan dan melaporkan sendiri ke KPP tempat dia terdaftar.


2 komentar:

  1. assalamualaikum bro,
    mau nanya, kalo agennya orang pribadi apa tetep dikenakan pph pasal 23 atas imbalannya atau pph pasal 21? syukron bro

    BalasHapus
  2. Waalaykumsalam bro, iya bro berdasarkan PERDIRJEN 31/2009 kalao bukan pegawai dan menjadi perantara atau yang mencarikan pembeli/langganan maka dia dikenakan PPh Pasal 21.

    BalasHapus